klik

POTENSI PENDIDIKAN,WISATA DAN BUDAYA DI KUDUS,PATI,JEPARA,DEMAK SERTA PERMASALAHANNYA


.

Membahas tentang Kudus, Pati, Jepara, dan Demak memang tidak pernah lepas dari perbandingan mengenai seluk- beluk kota tersebut dari berbagai sudut pandang. Pasalnya, hubungan kota- kota ini sangat erat jika dibandingkan hubungan- hubungan kota tersebut dengan kota lain. Hal itu tidak lain adalah karena jika dilihat dari segi wilayah, dapat dikatakan bahwa kota- kota ini bertetanggaan. Selain itu, jarak antara kota- kota ini relatif dekat. Secara geografis, keempat kota ini berada di sebelah selatan Laut Jawa, tepatnya di provinsi Jawa Tengah bagian utara.

Dari segi komposisi penduduk, keempat kota ini memiliki banyak kesamaan jika ditinjau dari faktor kesukuan, pola tingkah laku dan pola persebaran penduduk. Tetapi, jika dinalar, dari banyaknya kesamaan, pasti ada perbedaan sekecil apapun itu. Misalnya, aspek kualitas sumber daya manusia, mata pencaharian dominan, adat- istiadat, dan lain sebagainya. Harus diingat, perbedaan diciptakan Tuhan bukan untuk digunakan sebagai faktor pemicu perselisihan, kecemburuan sosial maupun kesenjangan antar sesama manusia dengan status sosial yang berbeda, melainkan agar kita dapat saling mengenal dan menghargai satu sama lain. Jika fakta yang berkembang di dalam masyarakat seperti tadi adanya, seharusnya tidak ada istilah seperti, ‘wong cilik’, kaum marjinal, kaum proletar, kaum borjuis, masyarakat akar rumput, dan sebutan serupa yang mengarah pada kasta- sentris.

Yang harus diperhatikan oleh segenap elemen masyarakat, suasana yang kondusif di keempat kota ini wajib dijaga agar tidak terpecah-belah oleh imperialisme modern, baik yang kasat mata ataupun tidak. Jangan sampai politik divide et impera lahir kembali merusak tatanan sistem dan suasana yang indah, aman, religius, dan bernuansa global ini.

Pokok permasalahan yang paling tepat untuk kita telaah dan kita kaji dalam wacana mengenai Kudus, Pati, Jepara, dan Demak ini adalah tentang potensi pendidikan, wisata dan budaya serta permasalahannya. Baik pendidikan, wisata dan budaya, ketiga-tiganya memiliki saling keterkaitan.

Di dalam pendidikan, baik formal, nonformal maupun informal sama-sama memuat akan tuntutan memelihara kebudayaan dan lingkungan. Di sinilah wisata tercipta, di tengah-tengah lingkungan dan kebudayaan yang berkembang oleh, dari dan untuk segenap komponen masyarakat. Dalam dunia pendidikan, perlu digalakkan usaha memperluas wawasan kultural. Baik kalangan elite maupun kalangan menengah ke bawah. Lebih- lebih kalangan elite yang dapat menimbulkan dampak trend- setters. Mereka mestinya justru dapat membuktikan bahwa di balik kosmetika materialistik mereka tersimpan kejiwaan yang peka terhadap hal ihwal kultural. Itu semua tak lain adalah agar tercipta perwujudan cita-cita kebangsaan (nationhood), itulah terutama menjadi andalan pengembangan kebudayaan, bukan untuk sekadar kehidupan bernegara (statehood).

Dikotomi “Timur- Barat”, manifestasi budaya Barat cenderung menjadi superioritas, sedangkan budaya Timur cenderung sebagai obyek kuriositas. Jika dikaji lebih dalam, westernisasi di negara kita tidak dapat dielakkan lagi keberadaannya. Hal inilah yang membuat peminat kebudayaan asli dari bangsa kita semakin menyusut jumlahnya dari generasi ke generasi. Ironisnya, hal ini juga sudah mulai terjadi di Kudus, Pati, Jepara, dan Demak.

Tidak jarang para kaum muda menampilkan budaya sandingan (sub- culture) atau budaya muda (youth- culture) yang menjadi selera mereka saat ini. Kadang ada juga yang menampilkan budaya tandingan (counter- culture). Budaya sandingan dapat berupa perilaku dan penampilan, gaya berujar dan penggunaan bahasa sesuka hati. Sedangkan budaya tandingan dapat ditampilkan dengan ciri negativisme, sikap protes, ungkapan pembangkangan, dan lain sebagainya. Budaya ini tidak seperti budaya sandingan yang berjalan mengikuti realitas sosial budaya, tetapi merupakan oposisi dari realitas termaksud. Begitulah adanya budaya anak muda pada umumnya dan pelajar pada khususnya di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di keempat kota ini.

Pendekatan terhadap masalah- masalah seperti itu sebaiknya dipecahkan dengan pendekatan yang bersifat konsensus daripada kompromis. Konsensus yang merupakan pemufakatan bersama (sharing) lebih mengena ketimbang secara kompromis yang mengedepankan saling memberi dan menerima (give and take).

Uraian tersebut tidak lain adalah untuk mengingatkan kita akan berbagai masalah budaya dalam dunia pelajar di keempat kota termaksud. Aksi gang Nero misalnya, fenomena budaya pelajar yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku. Sebenarnya, hal-hal penyimpangan seperti tadi di kalangan anak muda adalah wajar, meskipun keterlaluan dan sekalipun mengesankan akan melunturkan budaya riil. Tidak perlu hal tersebut dianggap sebagai urgensi agar kita cepat- cepat sedapat mungkin meredamnya, tetapi untuk diperhatikan sebagai pedoman dalam pendekatan terhadap perilaku kaum muda.

Sebenarnya, kebudayaan itu tidak hanya identik dengan tari, adat- istiadat masyarakat di daerah, bangunan bersejarah, dan lain sebagainya. Menurut asalnya, ‘budaya’ berasal dari bahasa Sanskerta, ‘Buddayah’ yang berarti akal pikiran. Tetapi, lain lagi dengan pendapat pendiri Yayasan Tamansiswa, yakni Ki Hajar Dewantara. Menurut beliau, ‘budaya’ berasal dari dua kata, ‘budi’ dan ‘daya’ yang dapat diartikan sebagai hasil olah buah budi manusia dalam kehidupan. Tidak sampai di situ saja, Koentjoroningrat menyebutkan bahwa kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan tindakan serta karya yang dihasilkan perilaku miliknya dengan cara belajar.

Bersama dengan berubahnya cara hidup, manusia hutan semakin mampu melepaskan diri dari jeratan belantara. Manusia gunung dapat turun ke daratan yang lebih rendah dan mengikuti sungai yang ditemuinya, dalam penjelajahan itu mungkin saja ia akhirnya sampai di muaranya lalu berkenalan dengan lautan. Rakit dan biduk tidak mungkin diciptakan manusia tanpa pertemuan manusia dengan perairan, dan untuk menciptakan rakit dan biduk itu ia menemukan bahan dan bentuk yang dapat mengapung, dari sehimpunan daun- daunan hingga segelondong batang pohon.

Uraian di atas adalah rancangan dan karya manusia yang didasarkan pada pendekatan trial and error belaka. Namun jelas menggambarkan manusia sebagai satu- satunya makhluk yang berikhtiar.

Beberapa unsur yang membangun kebudayaan diantaranya: bahasa, sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem peralatan hidup, mata pencaharian, religi, kesenian, sistem kekerabatan, politik, dan lain sebagainya. Berkenaan dengan hal tersebut, ada pendapat dari E. B. Taylor yang relevan, bahwa kebudayaan adalah kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan, dan kecakapan hidup.

Dapat dicermati dalam kehidupan kita sehari- hari bahwa kebudayaan menunjukkan ciri kenisbian (tidak ada ukuran baik- buruk, tinggi- rendah, dan sebagaimana untuk itu), dimiliki secara kolektif bukan individu, merupakan hasil proses belajar, adaptif, dan selalu berubah.

Melalui pendidikan dan pelatihan, kebudayaan itu diwariskan kepada generasi selanjutnya agar mampu meneruskan pendidikan melalui sosialisasi dan enkulturasi. Dalam tinjauan khusus, beberapa sekolah di daerah Kudus, Pati, Jepara, dan Demak belum sampai 50% dari sekolah yang ada di kota tersebut yang melalui sistem pendidikannya menyematkan pelajaran seni karawitan dan tari. Seharusnya, Jajaran Dinas Pendidikan di masing- masing kota memperhatikan hal ini demi melestarikan budaya Jawa yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Budaya yang berupa kesenian tradisional sangat penting untuk ditanamkan sedini mungkin dari dunia pendidikan.

Kita tidak boleh melengahkan upaya pengembangan kesenian tradisional maupun nontradisional, karena dalam bidang ini diaktualisasikan kreativitas artistik dan estetik yang tersimpan dalam manusia Indonesia sebagai manusia budaya. Pengutamaan pada penguasaan IPTEK memang suatu urgensi, tetapi dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan sendiri tidak boleh terbengkalai.

Yang perlu diketahui, bahwa sejak dulu kala Ten Local Genius (sepuluh kemampuan dasar lokal) telah berkembang dengan pesatnya. Ten Local Genius merupakan sepuluh unsur budaya asli Indonesia menurut Dr. J. Brandes. Yang termasuk Ten Local Genius diantaranya adalah sistem pertanian, sistem berlayar, sistem pengecoran, sistem astronomi, sistem kemasyarakatan, kesenian mocopat, kesenian wayang, kesenian gamelan, kesenian membatik dan menenun serta sistem perdagangan.

Klaim Malaysia atas karya dan hasil budaya Indonesia diantaranya: batik, Tari Pendhet, Reog Ponorogo, angklung dan lagu daerah Maluku 'Rasa Sayange' adalah bukti nyata adanya bangsa lain yang mengincar permata yang kita banggakan. Kita tidak boleh lengah dan pesimis karenanya, justru semua itu harus dijadikan cambuk bagi kita untuk tetap menjaga budaya yang ada dengan lebih baik lagi.

Memang, sejarah dalam mendongkrak masalah seperti itu harus diikutkan. Sebagaimana para Firaun di Mesir kuno menugasi seorang juru tulis (the Scriber) khusus untuk mencatat dan merekam sejarah mereka. Di sinilah letak tantangan bagi para sejarawan. Mereka harus bertaut dengan masa lalu dan untuk itu mereka harus dijembatani oleh rekaman jejak- jejak masa lalu, apapun bentuk jejak itu. Dalam menelusuri jalan mundur itu mereka harus sangat berhati- hati manakala membuat evaluasi dan interpretasi tentang segala temuannya. Sebagai contoh, bangsa Indonesia dapat membuktikan bahwa lagu kebangsaan Malaysia yang berjudul Negaraku, ternyata mirip lagu Terang Bulan ( lagu Indonesia rekaman tahun 50- an) dalam hal introduksi, nada dan tempo lagu. Lagu yang diciptakan oleh Syaiful Bachri itu pernah dihadiahkan oleh Presiden Soekarno berupa piringan hitam kepada Malaysia sebelum merdeka, tetapi bukan untuk dijiplak. Sehingga kini Malaysia terancam somasi dari Indonesia berkaitan dengan dugaan plagiat lagu. Malaysia mulai merdeka sejak tanggal 31 Agustus 1957, hadiah kemerdekaan dari Inggris. Lagu kebangsaan dapat dikatakan hadiah dari Presiden Indonesia. Penduduk dan anggota kerajaannya impor dari Bugis, Minang dan Siam, padahal Siam dulunya adalah bekas wilayah kerajaan Sriwijaya (lihat Angkor Wat). Jadi pelajaran yang dapat kita ambil, dalam mendirikan suatu negara tidak boleh asal-asalan agar tidak banyak menanggung problem di kemudian hari.

Pengulangan Malaysia dalam mengklaim hasil karya budaya bangsa kita sepertinya sudah merupakan aksentuasi dan konsistensi. Kita pun pastinya tidak ingin budaya- budaya di daerah Kudus, Pati, Jepara, dan Demak yang sudah lama berkembang dan tertanam di tengah masyarakat mengalami hal serupa. Tayub, Ukir Jepara dan Kretek misalnya. Sebagian besar, yakni 97 % dari hasil karya bangsa Indonesia sudah dipatenkan ke Komisi Intelectual Property Rights oleh bangsa lain. Proses pembuatan tempe misalnya, telah dipatenkan oleh Jepang. Hanya 3 % dari karya bangsa Indonesia yang terdaftar di HAKI Depatemen Kehakiman. Sungguh memprihatinkan sekali. Akar masalah dari semua ini adalah mengenai finansial, karena untuk mematenkan suatu karya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga apabila mahasiswa Indonesia telah berhasil menciptakan suatu karya yang seharusnya memuat hak cipta dan hak paten untuk itu, untuk sekadar mematenkannya mereka belum berani beranjak, hanya gara- gara soal biaya. Belum lagi kalau karya itu belum berhasil dikomersilkan oleh suatu perusahaan.

Mengenai sistem mata pencaharian, baik Kudus, Pati, Jepara, dan Demak memiliki perbedaan mata pencaharian dominan yang digeluti masyarakatnya. Misalnya, Kudus lebih tampak dengan pekerja di bidang rokok, sehingga dijuluki Kota Kretek, walaupun berjualan di kawasan wisata religi dan bordir konfeksi juga banyak dijalani oleh sebagian masyarakat di kota ini. Lain lagi dengan Pati yang menonjol dengan bidang pertaniannya, sehingga lebih terkenal dengan sebutan Bumi Mina Tani. Bercocok tanam dan berjualan di kawasan wisata religi lebih banyak digeluti masyarakat Demak, sedangkan seni mengukir lebih tepatnya banyak digeluti masyarakat Jepara.

Sistem bahasa di keempat kota ini juga tidak jauh berbeda, menggunakan bahasa Jawa dengan segenap unggah- ungguhnya. Tetapi, ada perbedaan sedikit mengenai bahasa ibu dari keempat kota ini. Misalnya saja, “piye leh?” dan “wis, go!” ucapan khas dari kota Pati. “he’e no?” lebih sering diucapkan orang Kudus. Dan “piye si?” sejumlah kawasan di Jepara memakai bahasa seperti ini, terutama di sekitar Pecangaan. Begitulah ragam bahasa yang ada di kota- kota tersebut dan akan tetap lestari sebagai bahasa ibu.

Tradisi- tradisi nenek moyang yang masih bertahan di keempat kota ini adalah antara lain: tradisi sedekah bumi, sedekah laut (bagi yang wilayahnya relatif dekat dengan pantai utara Jawa), sesajen untuk upacara adat, mitoni, menggunakan gemblong/ ketan untuk syarat pinangan, metang puluh, nyatus, nyewu, dan lain sebagainya. Ada beberapa di antara tradisi tersebut yang menimbulkan kontroversi dari kalangan masyarakat dengan sistem religinya yang fanatik. Atas nama melestarikan budaya, kontroversi tersebut masih mengambang tak terselesaikan. Semua itu wajar, mengingat komponen masyarakat kita yang majemuk dan heterogen. Dan kini semua terserah kepada kita agar kita selalu selektif dalam menentukan pilihan di tengah- tengah masyarakat adat Jawa.

Tentang kebudayaan yang berkembang di kota Kudus, Pati, Jepara, dan Demak merupakan hasil karya masyarakat yang sudah melekat dan mendarah daging di keempat kota tersebut yang berkembang selaras dengan pola perilaku masyarakat. Kebudayaan adalah setua sejarah manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial dan individu sekaligus. Penyimpulan ini tidak lebih dari konsekuensi logis dari kenyataan yang ada, ditandai dengan kebutuhan dasar yang didorong oleh nalurinya sampai dengan tahapan kehidupannya yang ditandai oleh fungsi nuraninya.

Mengenai pendidikan di kota Kudus, Pati, Jepara, dan Demak tampaknya tidak terlalu kalah saing dengan daerah- daerah di kota lain. Predikat RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) atau dalam istilah lain bernama The Pioneering International Leveling School sudah tersemat di sejumlah SMP dan SMA di keempat kota tersebut yang notabene sekolah favorit. Dasar program ini diantaranya adalah UU RI No. 20 Tahun 2003 Pasal 50 Ayat 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Rata- rata sekolah yang mempunyai titel RSBI/ SBI ini sudah mempunyai sister school di belahan bumi yang lain. Adapun sister school adalah sekolah internasional yang merupakan partner dari sekolah RSBI/ SBI dengan tujuan untuk memudahkan melakukan akses dan pertukaran informasi pendidikan.

Mengenai biaya sekolah yang dipatok oleh sekolah yang memiliki program RSBI/ SBI ini dapat dikatakan mahal oleh masyarakat golongan menengah ke bawah. Plesetan "Rintihan Sekolah Bertarif Internasional" sepertinya layak disandang. Buku- buku paket MIPA yang harganya berkisar di atas 50 ribuan, uang operasional sekolah di atas 200 ribuan, masih juga disuguhi buku paket dan LKS yang lain serta iuran- iuran yang terus menguntit sepertinya sangat sulit dijangkau oleh kalangan akar rumput. Ada yang mengatakan, pengadaan program ini adalah tak lain untuk menghimpun dana bantuan dari pemerintah atas nama program tersebut. Tetapi, apapun simpang- siur itu, yang penting kemajuan pendidikan untuk mencetak generasi mendatang yang berwawasan global di keempat kota ini dapat terwujud dengan optimal sebagaimana ungkapan asing yang berbunyi ‘without learning, the wise become foolish, by learning, the foolish become wise’.

Banyak sekali program pemerintah bekerjasama dengan Jajaran Dinas Pendidikan di keempat kota ini yang sudah dijalankan, diantaranya, immersion class, yang sudah dihentikan karena seperangkat ilmu sosialnya menggunakan bahasa Inggris, sehingga dianggap terlalu memberatkan siswa. Kini immersion class telah setara dengan RSBI/ SBI. Di samping itu, di beberapa daerah terpencil juga kini mulai dibangun SD- SMP satu atap atau Sekolah Satu Atap ( SATAP ). Yang pasti, profesionalisme, pengabdian murni dan kesabaran tinggi harus betul- betul dimiliki guru yang mengajar di sekolah tersebut demi tercapainya cita- cita pendidikan. SATAP adalah salah satu usaha pemerintah untuk mengejar tercapainya target APK SMP-MTs 95 % di tahun 2008. Ini dilakukan dengan dibiayai dari dana dekonsentrasi APBN untuk tahun pertama keberadaannya di masing-masing kabupaten dan kota yang menerimanya, sedangkan untuk kemudian, tahun kedua mereka dapat melanjutkannya sendiri dengan dana APBD kabupaten/kota masing-masing.

Sekolah adalah wadah dalam dunia pendidikan yang dapat membentuk logika, kemampuan berpikir, semangat kompetitif, kreatif, dan inovatif bagi para peserta didik, menumbuhkan budaya life long learner yang memiliki life skill yang memadai dan bermutu serta sebagai obyek pengembangan afektif, kognitif dan psikomotorik. Mereka juga dirangsang agar dapat menjadi generasi masyarakat yang peduli akan pentingnya pendidikan, yakni mencermati kebijakan publik bidang pendidikan yang dibuat dengan asumsi masyarakat yang dapat dijadikan obyek.

Pembentukan OSIS, redaksi majalah sekolah, kantin kejujuran, dan organisasi lain di sekolah merupakan bukti nyata bahwa siswa tidak hanya dituntut berhasil dalam bidang akademis saja, tetapi juga diharap dapat menunjukkan perannya dalam organisasi termaksud. Khusus untuk kantin kejujuran, keberadaannya dimaksudkan agar para siswa tidak menjadi koruptor untuk kini dan nanti, karena budaya korupsi di negara kita semakin merajalela. Di Kudus, model kantin seperti ini dirintis pertama kali oleh SMP Keluarga Kudus.

Demikianlah sekilas dunia pendidikan di keempat kota tersebut, sedangkan bahasan selanjutnya adalah mengenai wisata serta permasalahannya.

Jenis- jenis obyek pariwisata yang ditawarkan dewasa ini semakin beragam, antara lain: wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata religi, wisata kuliner, wisata belanja, wisata umum, dan wisata minat khusus yang terdiri dari kerajinan, arsitektur khas, agrowisata, dan lain- lain.

Keberadaan obyek wisata di suatu daerah merupakan suatu anugrah yang dapat mendongkrak PAD (Pendapatan Asli Daerah), dan PAD itu sendiri dapat menjadi alat ukur kemandirian dan kemajuan suatu daerah. Tetapi juga dapat menimbulkan masalah manakala target pendapatan dari sektor pariwisata dinilai memberatkan. Sarana promosi yang masih minim membuat sebagian obyek wisata di daerah Kudus, Pati, Jepara, dan Demak jalan di tempat. Pertanyaan untuk masalah yang relevan, jadi apa fungsi dari keberadaan duta wisata di kota- kota tersebut? Karena selama ini ajang duta wisata yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah tak ubahnya sebuah ajang fashion show belaka. Padahal secara logis, seharusnya fungsi duta wisata di suatu kota adalah mengemban tugas sebagai promotor atas semua obyek wisata yang ada di daerahnya agar tetap dapat menjaga eksistensinya. Tetapi, kenyataan seperti itu belum terealisasi.

Sebagian besar pendapatan yang diterima di daerah Kudus dan Demak dari sektor wisata adalah wisata religi, meskipun di Kudus juga masih banyak terdapat obyek wisata lain seperti: Rumah Adat Kudus, Taman Krida Wisata, Tugu Identitas Kudus, Museum Kretek, dan lain- lain. Konon kabarnya, di kompleks Museum Kretek akan dibangun waterboom, hal ini menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Pasalnya, pembangunan waterboom ini menggunakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), kemudian selain itu tidak sesuai peruntukannya sebagai sebuah museum. Sedangkan Taman Krida Wisata dan Tugu Identitas Kudus yang sebenarnya potensi kedua tempat itu adalah untuk ruang publik, menurut beberapa pihak seharusnya pengunjung tidak perlu dikenakan retribusi untuk sekadar masuk kawasan tersebut. Selain itu, mengenai permasalahan yang kemarin muncul di kawasan wisata alam Colo, yaitu tentang permintaan kejelasan dari warga berkaitan dengan sarana fisik yang masih minim, yang seharusnya didanai, ditanggung, dan diurus oleh CV Matra, sang investor. Tetapi CV Matra mengelak akan hal itu. Menurut pihak CV Matra, pembangunan sekarang ini baru ditekankan pada mental warga. Saat warga meminta kejelasan pendapatan, malah ditolak pihak CV Matra. Sikap warga memang logis, karena prosentase bagi hasil untuk warga adalah 15%, yang 55% untuk CV Matra dan selebihnya untuk pihak Perhutani sebagai pengelola lahan wisata. Tetapi sampai saat ini warga belum pernah menerima pendapatan bagi hasil tersebut. Semoga ada jalan keluar dari masalah ini, sehingga hasilnya nanti diharapkan dapat menguntungkan semua pihak.

Di Jepara, permasalahan mengenai obyek wisata yang ada di kawasan Karimunjawa masih mengambang keberadaannya. Ada jual- beli pulau yang dilakukan oleh investor asing di kawasan yang notabene daerah konservasi itu. Pemerintah seharusnya menindak tegas akan masalah tersebut, karena selama ini peraturan yang berlaku sangat minim. Jadi, Karimunjawa telah mulai dikuasai pihak perorangan dan secara hukum, hal itu tidak dibenarkan.

Obyek wisata seperti Pantai Bandengan, Kawasan Wisata Alam Karimunjawa, Pantai Kartini, Museum Kartini, serta Benteng Fort XVI merupakan ikon wisata dari Bumi Kartini yang tidak kalah ramainya dengan ikon- ikon wisata yang ditawarkan di daerah lain.

Sedangkan obyek wisata yang tak kalah menariknya dengan kota lain dari Bumi Mina Tani antara lain: Gunung Rowo Indah, Gerbang Majapahit, Makam Saridin (yang setiap tanggal 14- 15 Rajab selalu ramai), Makam Kyai A. Mutamakkin, Makam Mbah Tabek Merto, Wisata Air Desa Talun, Gua Pancur di Kayen, dan lain- lain.

Ada permasalahan serius yang wajib dimengerti dan ditindaklanjuti oleh semua pihak, yaitu soal penambangan tanah fosfat di Gua Pancur , tepatnya di desa Jimbaran, kecamatan Kayen yang dilakukan secara ilegal tanpa persetujuan Dinas Perhubungan dan Pariwisata yang mengelola Gua Pancur tersebut oleh orang- orang tak bertanggungjawab termasuk sekdes Jimbaran. Semua itu dilakukan hanya untuk mengeruk keuntungan pribadi, bukannya untuk dimasukkan dalam kas desa. Rata-rata setiap harinya, hasil dari tambang tanah tersebut mencapai 30 ton yang diangkut dua truk tronton. Nilai jualnya untuk setiap tronton ditaksir Rp 4,5 juta. Kalau dihitung kemungkinannya kerugian selama ditambang dua bulan adalah Rp 100 juta. Jika hal ini dibiarkan, maka tatanan alam di kawasan tersebut akan semakin rusak.

Uraian hal ihwal pendidikan, wisata dan budaya di Kudus, Pati, Jepara, dan Demak di atas merupakan karya manusia yang mendorong ke arah terjadinya rancangan , prakarsa dan karya baru pula. Kiranya kita menyadari, sebenarnya banyak sekali permasalahan yang timbul dari tiga pokok bahasan di atas dalam era kontemporer dengan dinamika tinggi sebagaimana dewasa ini. Semoga ulasan ini tidak menimbulkan konfrontasi pikiran, melainkan mampu menggalang pendapat, opini dan komentar konstruktif dan pandangan yang masih berserakan menjadi himpunan pemikiran yanmg berharga sebagai masukan, demi terciptanya perhatian yang lebih di daerah Kudus, Pati, Jepara, dan Demak.


Username: agustin anggriani
Nama: Agustin Anggriani
No. Registrasi: KT-LM-0809001

http://www.kudusterkini.com/Lomba-Menulis/potensi-pendidikan-wisata-dan-budaya-di-kudus-pati-jepara-dan-demak-serta-permasalahannya.html

Your Reply